Pendidikan Tinggi untuk Perempuan di Indonesia
ft
STIGMA MASYARAKAT
Savira Auliyah
“When women are educated their countries become stronger and more prosperous”. Kutipan tersebut diucapkan Michelle Obama pada Selasa pagi saat berkunjung ke Martin Luther King all-girls high school di Dakar, Senegal (Lazutta, 2013). Dari sudut pandangnya, dapat diperoleh premis bahwa seharusnya tidak ada pertanyaan yang diajukan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, negara dan masyarakat hanya perlu melakukan dan mendukungnya. Pendidikan merupakan landasan pemberdayaan perempuan mengingat hanya perempuan berpendidikan yang dapat memainkan peran yang sangat dominan dalam pembangunan ekonomi (Shetty, 2015). Kesimpulannya, seperti yang dikatakan Michelle Obama, pendidikan tinggi bagi perempuan sangat diperlukan untuk membuat negara kuat dan sejahtera.
Mengingat kepentingan dan urgensinya, setiap negara harus menjunjung tinggi pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan, termasuk Indonesia. Namun, pada tahun 2015, UNDP melaporkan bahwa hanya 39,9% perempuan Indonesia yang menyelesaikan pendidikan menengahnya sedangkan untuk laki-laki jumlahnya sedikit lebih tinggi, yaitu mencapai sekitar 49,2% (Priyatna, 2016). Data tersebut membuktikan bahwa Indonesia masih harus mengejar banyak hal untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi perempuan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Namun, para “Kartini” modern di Indonesia harus menghadapi realita lain yang sangat dahsyat. Kemendikbud beranggapan bahwa ada persepsi yang menyampaikan fakta bahwa perempuan hanya bertanggung jawab atas urusan rumah tangganya, dan persepsi itu sendiri membuat perempuan kurang termotivasi untuk melanjutkan pendidikan S2 atau S3 (Kirnandita, 2017).
Ambil satu contoh, Fransiska Tirtoadisurja adalah mahasiswa berprestasi yang menempuh pendidikan di The University of Sydney, Australia untuk meraih gelar masternya. Pendidikan telah menjadi bagian besar dalam hidupnya sejak orang tuanya memintanya untuk memilih antara dua pilihan sekolah ketika dia baru berusia 6 tahun. Ketika dia memberi tahu kerabatnya bahwa dia akan pergi ke Australia untuk belajar, salah satu dari mereka bertanya, “Mengapa Anda harus belajar untuk gelar master di universitas luar negeri? Ujung-ujungnya, Anda akan berakhir di dapur tanpa hasil” (Tirtoadisurja, 2020). Namun, perkataan tersebut tidak membuat Fransiska putus asa dan ia memilih untuk tetap melanjutkan studinya. Fransiska hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang harus menghadapi pertanyaan retoris yang terus-menerus dilontarkan. Daftar pertanyaan serupa yang dilontarkan kepada Fransiska juga disampaikan banyak orang kepada banyak perempuan yang menghadapi situasi yang sama saat menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Meski demikian, tidak semua orang memiliki stigma negatif yang tertanam di benak mereka. Ambil salah satu contoh dari penelitian yang dilakukan di desa Curahdingu yang mengungkapkan fakta bahwa masyarakat di desa tersebut memandang perempuan dengan pendidikan tinggi secara positif. Tidak hanya itu, jumlah perempuan yang berpendidikan juga meningkat dalam 50 tahun terakhir karena banyak orang tua yang mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi perempuan. Meski masih ada sebagian masyarakat di desa yang beranggapan bahwa takdir perempuan adalah “berada di dapur” (Nabilla, 2020). Namun, masih ada harapan bahwa masyarakat Indonesia akan memiliki perspektif yang lebih baik dan lebih maju dalam memahami pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dimiliki setiap orang terlepas dari latar belakang budaya, jenis kelamin, atau perbedaan lain yang memisahkan mereka dari satu sama lain. Memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi tanpa harus menghadapi prasangka juga merupakan kebutuhan dasar yang harus dimiliki setiap wanita di Indonesia. Sebagai masyarakat, kita harus bersama-sama menghadapi semua tantangan yang menghambat peningkatan pendidikan perempuan di negeri ini. Sebelum itu kita semua harus sepakat pada satu premis, pendidikan adalah hak yang harus dimiliki setiap orang, tanpa syarat. Jika kita semua sepakat, maka mari kita sebarkan kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan.
Referensi
​
Kirnandita, P. ( 2017, August, 17). Kerikil Tajam Dunia Pendidikan untuk Perempuan. Tirto. https://tirto.id/kerikil-tajam-dunia-pendidikan-untuk-perempuan-cuHk
​
Lazutta, J. (2013, June 7). Michelle Obama to girls in Senegal: You are role models. USA Today. https://www.usatoday.com/story/news/world/2013/06/27/michelle-obama-senegal/2464411/
​
Nabila, F. S. (2020). Persepsi Masyarakat Terhadap Pentingnya Pendidikan Tinggi Untuk Kaum Perempuan (Studi Kasus di Desa Curahdringu Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo). AL-HIKMAH (Jurnal Pendidikan dan Pendidikan Agama Islam), 2(2), 136-148.
​
Priyatna, A. (2016, June 17). Gender Bias And Indonesian Education System. SDGs Center Universitas Padjajaran. http://sdgcenter.unpad.ac.id/gender-bias-and-indonesian-education-system/#
​
Shetty, S., & Hans, V. (2015). Role of education in women empowerment and development: Issues and impact. Role of Education in Women Empowerment and Development: Issues and Impact (September 26, 2015).
​
Tirtoadiurja, F. (2020, September 7). The Importance of Education for Indonesian Women. Indonesia Mengglobal. http://indonesiamengglobal.com/2020/09/the-importance-of-education-for-indonesian-women/