top of page

Halloween (1978):
BORN OF FINAL GIRLS, THE DEVELOPMENT OF FEMINISM, AND THE WITHSTAND OF PARTRIARCHY

Mochamad Maulia Giffary

Halloween (1978) adalah sebuah film slasher berdurasi panjang yang disutradarai oleh John Carpenter. Film ini menceritakan tentang seorang pria bernama Michael Myers yang kabur dari institusi setelah mendekam selama 15 tahun karena membunuh kakak perempuannya sendiri. Michael kembali ke kota masa kecilnya, lalu berusaha membunuh para pemuda di lingkungan tersebut. Salah satu pemuda tersebut ialah tokoh protagonis perempuan bernama Laurie Strode (dimainkan oleh Jamie Lee Curtis dalam debut film fitur pertamanya). Dipandang sebagai film ber-budget rendah (300.000 dollar AS), Halloween sukses secara komersial dengan meraup pendapatan kotor hingga 60-70 juta dollar AS, lebih dari dua ratus kali biaya produksinya, dan dinobatkan sebagai salah satu film independen paling menguntungkan secara finansial dalam sejarah.

​

Halloween menjadi cetak biru bagi film-film slasher pada dekade-dekade setelahnya, terutama pada tahun 1980-an di mana subgenre tersebut berkembang dengan franchise yang sukses, seperti Friday the 13th (1980) dan A Nightmare on Elm Street (1984). Halloween juga merupakan salah satu film awal yang menginspirasi rumusan alur cerita yang sekarang banyak digunakan, di mana sejumlah orang dibunuh oleh seorang sosok jahat satu per satu untuk membangun ketegangan yang semakin meningkat sebelum akhirnya mencapai klimaks dengan konfrontasi akhir antara sang monster dengan orang terakhir yang tersisa, yang biasanya merupakan seorang protagonis perempuan. Pengulangan alur ini dalam film-film slasher terkenal mendorong munculnya diskursus yang diawali oleh Carol J. Clover yang menginisiasi penggunaan istilah “final girls” untuk merujuk pada tokoh protagonis perempuan yang tersisa di akhir film.

​

Clover berpendapat jika terdapat konvensi tentang sifat-sifat yang hampir selalu dimiliki final girl di setiap film slasher yang membuat mereka berbeda dari karakter-karakter lain. Final girls merupakan “penyintas yang tersiksa” dan terkadang “selamat karena kebetulan” (Clover, 2015), yang, “selagi dikejar, dilukai, dan dihimpit oleh sang pembunuh, dipaksa untuk menahan trauma akibat menyaksikan tubuh teman-temannya yang termutilasi selama mungkin untuk akhirnya diselamatkan atau menghabisi sang pembunuh dengan tangan mereka sendiri” (Paszkiewicz dan Rusnak, 2020). Meskipun, secara kasat mata, final girl terlihat menggambarkan perempuan yang berdaya, terutama jika dibandingkan dengan narasi women-in-distress yang banyak digunakan pada era sebelumnya, bagi Clover, kesesuaian plot tersebut dengan agenda feminisme bermasalah dalam beberapa hal. Sebagai contoh, final girls kerap digambarkan tidak memiliki kehidupan seksual yang aktif. Hal ini kontras dengan kehidupan teman-teman perempuan mereka yang lebih bebas secara seksual dan, akhirnya, menjadi korban dari sang pembunuh. Hal tersebut cukup menyiratkan mereka yang aktif secara seksual harus dihukum dan perempuan harus menganut prinsip moral tradisional jika ingin selamat. Lebih jauh lagi, Clover pun melihat jika perempuan yang bertahan hingga akhir kerap dimaskulinkan dengan berbagai cara, seperti memiliki nama yang tidak feminin ataupun menggunakan alat-alat “jantan” seperti pisau dalam pertarungan akhir mereka dengan sang pembunuh untuk membuat mereka lebih menarik dan dekat dengan penonton film laki-laki (Clover, 2015).

​

Ciri-ciri tersebut terlihat dalam konteks Halloween, dan Laurie sebagai final girl digambarkan memiliki karakteristik yang disebutkan Clover. Pertama, teman-teman perempuan Laurie diserang Michael pada saat-saat di mana mereka mengencani pasangannya; sewaktu akan bertemu pacarnya serta ketika sedang berdua dengan kekasihnya. Sebaliknya, Laurie tidak yakin dalam mengencani pria mana pun, dan pada malam Halloween memilih untuk berkomitmen dengan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak-anak sebagai babysitter. Film ini juga menyiratkan bahwa kasus pembunuhan pertama Michael terhadap saudara perempuannya ketika Michael berusia enam tahun berkaitan dengan fakta bahwa saudaranya aktif secara seksual. Selain itu, nama “Laurie” sendiri kerap diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan sehingga mengkonfirmasi argumen Clover. Terakhir, meskipun Laurie terus-menerus berusaha menghentikan Michael dalam scene-scene sebelumnya, akhir film selesai dengan keterlibatan yang besar dari seorang karakter pria ketika Dokter Loomis datang membantu Laurie dan menembaki Michael dengan senjata api.

​

Namun demikian, Clover dan ahli lain tetap berhati-hati untuk tidak begitu saja melabeli tren final girl sebagai sesuatu yang misoginis. Penting untuk disebutkan jika sejak tahun 1980-an, final girls digambarkan memiliki agensi yang lebih besar untuk menentukan nasib mereka ataupun merebut kembali power untuk menentukan nasib jika mereka tidak bisa melakukannya. Hal ini dicontohkan oleh Nancy Thompson dalam film pertama Elm Street, yang tanpa menggunakan senjata apa pun mengambil kembali kontrol terhadap mimpi dan ketakutannya dari sang antagonis Freddy Krueger pada akhir film (Christensen, 2015). Clover (2015) juga menyadari bahwa terlalu berfokus pada apakah final girl atau tokoh lain yang pada akhirnya menghabisi sang monster mengelakkan kecerdasan dan kapasitas strategis yang dimiliki final girl tersebut untuk bertahan hingga klimaks film. Selain itu, beberapa ahli juga melihat jika telah terjadi penyederhanaan berlebihan dalam memaknai kejadian dalam film slasher. Judith Halberstam, misalnya, berpendapat menggunakan pandangan postmodernisme bahwa sulit untuk menentukan apakah gambaran seksisme dalam film bertujuan untuk mendukung nilai misoginis atau untuk menunjukkan penonton tentang misogini sebagai prinsip yang buruk (Markovitz, 2000). Maka, fakta bahwa Michael Myers mengawali pembunuhan kepada mereka yang lebih aktif secara seksual sebelum menyerang Laurie dapat sama-sama dimaknai sebagai: (1) dukungan sang pembuat film terhadap pandangan konservatif tentang perempuan atau (2) cara pembuat film untuk menggambarkan misogini sebagai bagian dari figur jahat. Akan tetapi, kedua makna ini tetap bermasalah karena, pada akhirnya, sang monster yang tetap menang karena ialah yang menegakkan sistem yang patriarki. Sebaliknya, final girls dan teman-teman perempuannya hanya dapat menerima aturan yang menindas mereka.

​

Dibandingkan Hollywood, industri perfilman Indonesia memiliki kesamaan dengan tingkat yang berbeda dalam hal representasi perempuan dalam film horor. Tokoh perempuan di film horor Indonesia dapat berperan sebagai protagonis, antagonis, maupun karakter ambigu. Tokoh utama perempuan dalam horor klasik Indonesia Sundel Bolong (1981) merupakan hantu yang dendam terhadap mereka yang telah melakukan pelecehan seksual kepadanya dan mengakibatkan ia mengalami depresi dan meregang nyawa. Untuk membuat pelaku pelecehan mendapat ganjarannya, tokoh perempuan tersebut membalas dendam dan sewaktu-waktu menggunakan kegenitan sebagai senjata untuk menjebak sang penjahat. Namun, film berakhir dengan resolusi berbentuk kehadiran figur keagamaan pria yang menghentikan sundel bolong, yang dimaknai Anggita Pangastuti (2019) sebagai cara untuk mempertahankan tatanan patriarki dan menghentikan mereka yang menantang dan menggoyahkan sistem tersebut. Pangastuti melihat hal ini sebagai refleksi pandangan yang dominan pada era Orde Baru dan Transisi.

​

Film horor Indonesia dengan taraf supranaturalisme yang lebih rendah bagi tokoh antagonis mereka (namun tetap ada) lebih sering muncul setidaknya dalam lima belas tahun terakhir. Pangastuti (2019) menggunakan Air Terjun Pengantin (2009) untuk mencontohkan penggunaan tren final girl dalam film Indonesia kontemporer. Bertolak belakang dengan final girls Barat, tokoh utama di film tersebut terseksualisasi; hal yang kerap terjadi dalam film horor pada saat itu dengan tujuan untuk memasarkan film tersebut mengingat tren film sexploitation yang kembali bangkit. Film slasher yang juga perlu disebut pada era tersebut ialah Rumah Dara (2009), yang berbeda karena tokoh utama antagonis yang bukan laki-laki, melainkan seorang perempuan yang menjadi kepala keluarga bagi anak-anaknya yang telah dewasa (baik laki-laki maupun perempuan). Dalam kedua film tersebut final girls akhirnya menghadapi sang antagonis utama tanpa atau dengan hanya sedikit bantuan dari tokoh laki-laki lain. Akan tetapi, ekspektasi patriarki tentang keibuan terhadap kedua perempuan tersebut tetap ada, yaitu ditekan untuk segera menikah bagi Tiara dalam Air Terjun Pengantin (Pangastuti, 2019) dan untuk merawat bayi korban yang baru lahir untuk Ladya dalam Rumah Dara.

​

Sebagai kesimpulan, adalah hal yang kompleks, jika memungkinkan, untuk memahami apakah tren final girl membantu perkembangan feminisme dalam media arus utama. Selain karena adanya perbedaan pendapat tentang konsep final girl, juga terdapat sangat banyak film slasher yang masing-masing memiliki detail uniknya tersendiri yang dapat mengarah kepada kesimpulan yang berbeda, termasuk dalam film Halloween. Namun, investigasi lebih jauh yang menarik dapat dilakukan dengan membandingkan film pertama Halloween dengan rilis terbaru dari sekuelnya (2018), dengan kemungkinan untuk juga menyandingkannya dengan Halloween H20 (1998) untuk melihat bagaimana gagasan final girl dalam franchise tersebut berubah sejalan dengan pengembangan karakter Laurie.

Referensi

​

Carpenter, John. (Director). (1978). Halloween [Film]. Compass International Company.

​

Christensen, Kyle (2011). The Final Girl versus Wes Craven's "A Nightmare on Elm Street": Proposing a Stronger Model of Feminism in Slasher Horror Cinema. Studies in Popular Culture, 34(1), 23-47.

​

Clover, Carol J. (2015). Men, Women and Chain Saws: Gender in the Modern Horror Film. Princeton University Press. 

​

Markovitz, Jonathan (2000). Female Paranoia as Survival Skill: Reason or Pathology in a Nightmare on Elm Street? Quarterly Review of Film and Video, 17(3), 211-220.

​

Pangastuti, Anggit (2019). Female Sexploitation in Indonesian Horror Films: Sundel Bolong (A Perforated Prostitute Ghost, 1981), Gairah Malam III (Night Passion III, 1996), and Air Terjun Pengantin (Lost Paradise – Playmates in Hell, 2009). [Master’s Thesis, Auckland University of Technology. Auckland University of Technology Open Repository.

Edited by Vanessa Michaela Jaya. 

bottom of page