Mengapa Penerapan Teknologi Hijau
berlangsung dengan
LAMBAT DAN SULIT?
Mochamad Maulia Giffary
Salah satu masalah paling sulit di dunia pada saat ini ialah kerusakan lingkungan yang semakin parah. Banyak ahli memprediksi gambaran menakutkan yang akan terjadi kepada umat manusia jika masalah perubahan iklim tidak segera diatasi. Namun, usaha dari para pemimpin dunia untuk memperlambat laju kerusakan lingkungan masih minim. Meskipun tingkat inovasi teknologi ramah lingkungan semakin maju, kita masih melihat taraf penggunaannya yang rendah di berbagai wilayah di dunia. Artikel ini akan mengkaji bagaimana hubungan antara aktor global saat ini, dengan perbedaan kepentingan mereka, membuat dunia berada dalam masalah besar tersebut.
Pertama-tama, meskipun ketergantungan antaraktor global, seperti negara dan perusahaan, dalam ranah ekonomi semakin kompleks, termasuk di dalamnya proses produksi yang kian rumit karena semakin sering diberlakukannya sistem rantai suplai global, dapat dilihat bahwa produksi teknologi energi bersih masih bersifat tradisional dan merkantilistis, sebagaimana yang berlaku pada produksi barang-barang lainnya yang lebih umum. Meckling dan Hughes (2020) berpandangan bahwa bukannya dipenuhi oleh kerja sama, masih terdapat nuansa kompetisi dengan aturan zero-sum game yang tidak selalu mengarah pada kooperasi.
Perbedaan pendekatan antarnegara dalam proses transisi menuju energi yang lebih bersih pun terlihat. Negara Utara dan maju yang memiliki penelitian yang lebih kuat tentang teknologi yang dibutuhkan untuk bertansisi cenderung memonopoli pengetahuan yang ada dengan memprioritaskan kebutuhan untuk melindungi hak kekayaan intelektual sebagai cara untuk menjaga agar insentif dalam berinovasi tetap tumbuh (Koskina dan Ibrahim, 2020). Akibatnya, dalam sistem seperti sekarang, para penerima teknologi yang terdiri atas negara-negara berkembang yang harus membangun industri yang memproduksi produk hijau yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri hanya menerima sedikit bantuan dari negara-negara terindustrialisasi (Koskina dan Ibrahim, 2020).
Pada saat yang sama, tidak adanya dukungan institusional pada tingkat di atas negara melalui aturan hukum yang jelas semakin memperburuk kondisi yang ada. Lembaga terdepan yang mengatur perdagangan barang ramah lingkungan dan energi bersih, yakni WTO dan UNFCCC, tidak memiliki aturan langsung yang secara eksplisit menjelaskan barang energi bersih dan mengakui sifat yang berbeda dari permintaan barang-barang tersebut dibandingkan barang-barang lainnya (Dent, 2018). Lebih jauh, dalam upaya untuk mengisi kekosongan hukum ini, negara-negara yang menyadari perbedaan filosofi di antara kedua Lembaga tersebut (yakni perdagangan yang menjunjung liberalisme ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan intervensi negara), mempunyai preferensi institusi yang berbeda yang mereka pikir dapat mengatasi masalah dengan baik (Dent, 2018). Urusan teknis sederhana ini kemudian menghambat dunia untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan di tengah kondisi yang semakin parah.
Monopoli yang dilakukan oleh negara-negara Barat untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri dari isu perubahan iklim sangat bermasalah, terutama jika melihat fakta bahwa dalam konteks sejarah, negara-negara Barat merupakan kontributor terbesar dari kerusakan iklim yang terjadi karena proses industrialisasi mereka yang cepat. Namun, negara-negara berkembang Dunia Ketiga harus sama-sama menanggung kerugian biaya akibat perubahan iklim. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, dapat terlihat jika negara-negara Selatan telah menunjukkan komitmen yang kuat dan berusaha sebaik mungkin untuk bertransisi ke teknologi yang lebih hijau. Gosens (2020) melihat jika dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan perdagangan barang energi bersih di antara negara-negara Selatan telah melebihi pertumbuhan perdagangan antara negara-negara Utara.
Pada akhirnya, asumsi awal yang mempengaruhi bagaimana negara melihat teknologi hijaulah yang bermasalah, yakni bahwa barang energi bersih merupakan komoditas pasar dan bukannya infrastruktur pasar. Negara, beserta kelompok-kelompok negara, memiliki kewajiban untuk menyediakan masyarakat dengan barang publik yang dapat menjamin bahwa pasar global berjalan lancar, dan teknologi hijau merupakan salah satu barang publik tersebut. Produk-produk yang menjamin bahwa perekonomian dapat berlangsung secara berkelanjutan dan bebas dari ancaman akibat perubahan iklim seharusnya dari awal dilihat sebagai barang publik, bukan privat.
Referensi
​
Dent, C. M. (2017). Clean Energy Trade Governance: Reconciling Trade Liberalism and Climate Interventionism? New Political Economy, 1–20.doi:10.1080/13563467.2018.1384456.
​
Gosens, J. (2020). The greening of South-South trade: Levels, growth, and specialization of trade in clean energy technologies between countries in the global South. Renewable Energy.doi:10.1016/j.renene.2020.06.014.
​
Koskina, A., Farah, P. D., & Ibrahim, I. A. (2020). Trade in clean energy technologies: sliding from protection to protectionism through obligations for technology transfer in climate change law, or Vice Versa?†. The Journal of World Energy Law & Business, 13(2), 114–128. doi:10.1093/jwelb/jwaa013.
​
Meckling, Jonas; Hughes, Llewelyn (2018). Global interdependence in clean energy transitions. Business and Politics, 20(4), 467–491. doi:10.1017/bap.2018.25.